Sugeng Rawuh | Wilujeng Sumping | Selamet Dheteng | Rahajeng Rauh | Salamaik Datang | Horas | Mejuah-Juah | Nakavamo | Slamate Iyoma| Slamate Illai | Pulih Rawuh | Maimo Lubat |

Museum Kraton Kasepuhan


Dulu kraton ini hanyalah sebuah rumah besar yang dibuat oleh Pangeran Sri Mangana Cakrabuana pada tahun 1480. Pangeran Sri Mangana Cakrabuana (Pangeran Cakrabuana) berniat melepaskan diri dari Pajajaran karena Pangeran Cakrabuana tidak akan mewarisi tahta Pajajaran, walaupun Pangeran Cakrabuana adalah putra tertua Prabu Siliwangi, mengapa demikian? Karena Pangeran Cakrabuana menganut Islam sedangkan bapaknya penganut Hindu, dan Kerajaan Pajajaran adalah Hindu. Oleh karena itu, bulat tekat Pangeran Cakrabuana untuk melepaskan diri dari Pengaruh Hindu Pajajaran.

Putra menantu Pangeran Cakrabuana, yang juga masih keponakannya sendiri, Syarif Hidayatullah naik tahta dan menggantikan Pangeran Cakrabuana setelah Pangeran Cakrabuana wafat tahun 1483. Pada tahun 1568 Syarif Hidayatullah yang bergelar Susuhunan Jati (Sunan Gunung Jati) wafat, dan Cirebon dipimpin oleh Pangeran Emas yang bergelar Panembahan Ratu I (tentang silsilahnya lieur euy, sudah kami coba urut pada bagian Kanoman, takut salah jadi ga diulangi dulu, nunggu informasi dan konfirmasi validasi…^^). Pada era Pangeran Emas inilah dibangun Kraton baru di sebelah barat Dalem Agung yang diberi nama Kraton Pakungwati (nama salah satu istri Sunan Gunung Jati) dan sejak tahun 1697, Kraton Pakungwati lebih dikenal dengan nama Kraton Kasepuhan dan sultannya bergelar Sultan Sepuh.
Kami sampai di Kraton Kasepuhan kurang lebih pukul 13.00 karena sebelumnya sempat berteduh sekalian sholat dulu di Masjid Sang Cipta Rasa. Hujan mulai turun kawan, kekhawatiran kami terjadi, tapi untung, hujan hanya memberikan salam sapanya kepada kami, baru turun sudah berhenti akhirnya kami bisa memasuki Kraton Kasepuhan. Jauh beda rasanya dengan nuansa dan suasana Kraton Kanoman, memang benar, yang satu ini sangat terawat. Kami membeli tiket masuk seharga Rp.3.000 plus kamera Rp.1.000. Seperti halnya di Yogya, kami sudah disambut oleh seorang tour guide yang siap mengantar kami. Eits sebentar, kayaknya kami pernah melihat bapak ini deh, yak. Bapak ini adalah tour guide yang sama ketika mengantar acaranya si Farhan (Tatap Muka TVOne) ketika berkunjung ke Kasepuhan ini…hmmm, bapak ini udah pernah masuk tipi ternyata…kami aja belum…hiks…okelah, kita lanjutkan perjalanan.
Dengan sambutan yang hangat ala tour guide kami mulai dijelaskan panjaaaaang lebar tentang asal muasal dan gedung-gedung yang ada di dalam kraton ini. FYI kawan-kawan, saat ini ada kurang lebih 30 abdi dalem yang masih aktip melayani Sultan Sepuh dan beberapa guide yang konon, semuanya masih kerabat Sultan. Pantaslah kalau mereka tahu segala seluk beluk kraton ini. Kami aja yang punya ingatan cetek, sehingga sedikit-sedikit lupa, jadi nanti kalau ada yang lupa lagi udah maklum lah ya…^^
Kami melewati sebuah pintu gerbang yang menyerupai Pura-pura di Bali (udah pernah ke Bali belum, kalau belum pernah ke Cirebon aja, pintu gerbangnya sama kok, hehehe), inilah salah satu makna Cirebon dari kata Caruban yang artinya campuran karena sampai saat ini, jejak pluralisme masih sangat kental di sini. Sebelumnya kami juga dijelaskan tentang konsep Sedulur Papat, Limo Panjer yang makna filosofisnya empat tiang untuk satu tujuan, yakni tegaknya syariah. Konsep ini yang menjadi landasan bangunan-bangunan di Keraton ini. Karena hujan langsung menghajar kami tanpa ampun singkat cerita kamipun masuk ke bangsal kereta. Jika di Kanoman museumnya hanya pada satu tempat khusus, maka kalau boleh kami katakan, sebagian besar kompleks Kasepuhan ini adalah museum. Termasuk bangsal Kereta ini.
Di dalamnya terdapat kereta Singa Barong, kereta dengan sistem mekanik tercanggih di kelasnya. Kami sangat senang karena sang pemandu kami bercerita dengan sangaaat antusias tentang kehebatan kereta ini. Kami hanya manggut-manggut, antara kagum dan ga ngerti. Yang kami ngerti saja yang kami laporkan. Begini. Kereta ini adalah kereta pertama yang memiliki mekanisme power steering dan menggunakan shock breaker ala mobil jaman sekarang. Kereta ini didesain sedemikian rupa untuk tidak merasakan goncangan-goncangan batu kerikil jalanan, sehingga jalannya bisa smooth. Selain itu, rodanya pun didesain khusus anti bengkok anti ganti serta yang jelas anti bocor, hehe. Roda didesain sedemikian rupa sehingga kalau melewati comberan (kok comberan, genangan air maksudnya) sang penumpang tidak akan kena cipratan air karena bentuknya yang bla-bla-bla (mohon maap kawan, bahasa yang dipergunakan si bapak teknis banget, kami ga bisa mengulangi, tapi intinya itulah….). sudahkah kemampuannya? Belum, masih ada kehebatan lainnya, ketika kereta berjalan maka ada sistem mekanik yang bekerja pada sayap dan mulut Singa Barong ini. Ketika kereta berjalan, sayap yang ada di samping kiri dan kanan kereta akan mengepak-kepak seolah hidup, dan mulutnya akan terbuka dan tertutup (sebentar, kami lupa, mulut apa lidah ya, yang melet-melet, lupa lagi euy, pokoknya daerah sekitar situlah). Bayangkan kawan, pada abad ke 15, desainer-desainer kita sudah bisa menciptakan sistem yang hebat seperti itu, brilian bukan? Setelah ratusan tahun, replikanya pun dibuat, tapi hasilnya jauh dari aslinya, mengutip dari kata-kata si bapak pemandu, “tinggal nyontek aja ga bisa” (dengan nada sinisme, ouw, kami sebagai generasi tukang nyontek jadi tertohok banget tuh…^^).

Masih di dalam bangsal ini juga terdapat lukisan yang konon adalah Prabu Siliwangi, kakek Sunan Gunung Jati. Lukisan tersebut di buat oleh seniman dari Garut (ceuna) dengan menggunakan teknik khusus yang kami tidak tau apa nama teknik melukis tersebut, yang mata dan kakinya akan selalu mengikuti kemana kita pergi. Lukisan tersebut juga merupakan permainan mata, yang kalau dari depan seakan-akan Prabu Siliwangi terlihat seperti bogel (pendek bantet), tapi kalau dari samping kelihatan tinggi gagah perkasa. Namun, lukisan ini hanyalah imajinasi pelukisnya, karena tidak ada satupun yang tahu bagaimana rupa dan perwujudan dari Prabu Siliwangi tersebut. Satu yang khas adalah, selalu ada maung di sisinya sebagai teman seperjuangan. Selain lukisan dan kereta replika ada tandu yang dipergunakan untuk mengangkat permaisuri. Bentuknya khas seperti tandu-tandu permaisuri yang kita liat di film-film kungfu. Ngeliat bentuknya udah bisa membayangkan beratnya coy. Konon tandu ini diangkat 8 orang. Dari bangsal kereta kami diantar ke sebuah ruang yang sangat unik, keren dan luar biasalah. Tempat ini adalah tempat sultan menerima tamu. Tapi sayangnya, semoga ini dibaca oleh pengelola, kami waktu ke sana kan ujan gede tuh, bagian keraton yang fotonya ada di atas, bocor semua, jadi air kmana-mana, sayang kan udah terawat dari depan ke belakang, interior utamanya malah bocor.
Di dalam gedung itu kami diantar masuk, kami terkesima, karena selain kereta dengan sistem mekanis luar biasa, abad 15 di Cirebon juga sudah mengenal AC, hehehe (bukan ding, itu baru-baru ini saja di pasang, mengingat udara Cirebon yang panas khas kota pelabuhan dan pesisir). Bukan itu yang membuat kita terkesima, tapi relief dari keramik (ada yang dari Cina dan ada yang dari Belanda). Di dalam relief tersebut menceritakan tentang isi Bible, perjanjian lama dan baru, walaupun tata letak dan urutannya berbeda. Selain itu berdampingan dengan relief tadi juga diceritakan tentang sejarah Islam, juga Kong Hu Chu. Sungguh kota ini sudah mengenal toleransi dan pluralisme yang tinggi sejak 500 tahun yang lalu. Terdapat juga ranjang dan tirai warna-warni yang seperti biasa setelah diceritakan kamipun lupa maksudnya. Tapi khusus yang ranjang dan tirai tersebut kami tidak boleh naik karena demi kemaslahatan bersama. Pada saat kami keluar, ada yang kami rasa janggal, yaitu ternyata, bangunan ini tidak lurus, dari arah depan, untuk menuju ke ruang di belakangnya membelok serong ke kiri, jadi tidak berada dalam garis lurus yang membentang seperti di Kraton Yogyakarta. Kenapa eh kenapa? Ternyata ada pengaruh Feng Shui juga ternyata (ouw, satu lagi akulturasi budaya yang kami temukan dan pelajari di kota ini).

Setelah kami keluar dari gedung utama (oiyya, segala bentuk alas kaki harap dilepas kawan, kasian yang bersiin, apalagi musim ujan begini, bawa lumpur segala macamnya kan alas kaki kita, jadi mari kita jaga bersama-sama), kami berjumpa dengan dua patung maung (macan) dan meriam peninggalan (ntah peninggalan siapa itu, peninggalan nenek dan kakek moyanglah pastinya). Walaupun mencoba untuk melepaskan diri dari Pajajaran, tapi simbol-simbol kebesaran Prabu Siliwangi masih kentara disini, diantaranya adalah simbol macan yang menjadi icon Pajajaran khususnya Prabu Siliwangi. PERSIB BANDUNGpun berjuluk Maung Bandung kan. Jawa Barat memang tidak pernah lepas dari Siliwangi, seperti halnya Jawa Timur yang tidak bisa lepas dari Brawijaya.
Sebetulnya bapak pemandunya masih menawarkan kami untuk mengunjungi beberapa tempat lagi, namun karena jam sudah menunjukkan pukul 14.15, maka kamipun pamit untuk melanjutkan perjalanan. Sebelum pamit kami berembuk, masa bapak yang sudah sangat baik hati ini kami berikan ucapan terima kasih saja. Enggaklah pastinya, setiap budi baik harus kami balas dengan budi baik, tetapi setiap budi jahat, biar Tuhan yang membalas secara pantas. Akhirnya kami bersalaman dengan menempelkan Rp.20.000 kali dua, alias Rp. 40.000. maap-maap bapak Cuma itu yang bisa kami berikan membalas kebaikan bapak. Mungkin kawan-kawan nanti yang mengikuti jejak kami, akan bisa merasakan beratnya memberikan sejumlah itu, bukan berat dalam artian kebanyakan yak, tapi berat dalam artian kami segan karena merasa itu tak cukup mewakili jutaan informasi yang kami terima dari bapak itu. (semoga Tuhan nanti yang membalas berlipat-lipat, ameeen). Nah, sebelum kami pergi, kami rasa bapak itu juga orang yang sangat kompeten untuk memberikan arahan jalan selanjutnya bagi kami, yaitu PASUKETAN. Dan bapak itupun memberikan direction yang luar biasa gamblangnya, dari sini ke sini, ada ini belok ke sini dan lain sebagainya. Yak, sudah kami rekam dengan baik, kamipun pergi.
Kraton Kacirebonan
Satu keraton lainnya yang tidak sempat kami kunjungi adalah Kraton Kacirebonan. Walaupun tidak sempat kami kunjungi tapi secara singkat akan kami ceritakan asal usulnya. Begini. Setelah Kesultanan Cirebon terpecah menjadi dua, Kasepuhan dan Kanoman, Kesultanan Cirebon masiiiiih aja dirundung konflik. Dan konflik tersebut muncul dari Kanoman. Setelah Sultan Anom IV wafat tahun 1803. Seharusnya, penerus tahta sebagai Sultan Anom V adalah sang Putra mahkota, Pangeran Kanoman, namun justru Belanda melantik putra Sultan Anom IV yang lain, yaitu Abu Sholeh Imaduddin sebagai Sultan Anom V. Karena tidak puas, akhirnya Pangeran Kanoman keluar dari Kraton dan bergabung dengan pemberontak. Pangeran Kanoman akhirnya ditangkap dan di bawa ke Batavia. Batavia yang lokasinya berdekatan dengan Kesultanan Banten jelas membawa perlawanan baru, tidak hanya dari Cirebon tapi juga dari Banten. Akhirnya, Pangeran Kanoman di buang ke Ambon, namun perlawanan masih tetap muncul. Kemudian, Pangeran Kanoman di bawa kembali ke Cirebon tahun 1808.
Pada tanggal 13 Maret 1808, Pangeran Kanoman diangkat menjadi Sultan Carbon Kacirebonan. Mulai saat itu, Cirebon secara resmi memiliki tidak hanya satu, dua tapi tiga. Kasepuhan, Kanoman dan Kacirebonan. Belanda tapi tidak kalah liciknya, setelah mengangkat Sultan Carbon Kacirebonan, Belanda mengeluarkan peraturan tidak boleh meneruskan gelar sultan ke anak turunnya, keturunan Sultan Carbon Kacirebonan hanya akan mendapat gelar Pangeran. Itulah sejarah singkat Kacirebonan, kratonnya terletak di Jalan Pulaseran, dan konon kraton tersebut berwujud bangunan Belanda, tidak lazimnya seperti kraton pada umumnya.

0 comments:

Post a Comment

Indonesia Barat